Dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan perlu berpedoman pada asas-asas pembentukan peraturan yang
baik dan ideal. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan dan kecacatan
dalam pembentukan norma.
Asas-asas pembentukan
peraturan perundangundangan yang baik menurut I.C. van der Vlies dalam bukunya
yang berjudul Handboek Wetgeving dibagi dalam dua kelompok
yaitu:34
Asas-asas
formil:
1) Asas tujuan
yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling), yakni
setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan dan
manfaat yang jelas untuk apa dibuat;
2) Asas
organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste orgaan), yakni
setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga atau organ
pembentuk peraturan perundagundagan yang berwenang; peraturan perundangundangan
tersebut dapat dibatalkan (vernietegbaar) atau batal demi
hukum (vanrechtswege nieteg), bila dibuat oleh lembaga atau organ
yang tidak berwenang;
3) Asas
kedesakan pembuatan pengaturan (het noodzakelijkheidsbeginsel);
4) Asas
kedapatlaksanaan (dapat dilaksanakan) (het beginsel van uitvoerbaarheid),
yakni setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada
perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan yang dibentuk nantinya dapat
berlaku secara efektif di masyarakat karena telah mendapat dukungan baik secara
filosofis, yuridis, maupun sosiologis sejak tahap penyusunannya;
5) Asas
konsensus (het beginsel van de consensus).
Asas-asas
materiil:
1) Asas
terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke
terminologie en duidelijke systematiek);
2) Asas dapat
dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3) Asas
perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
4) Asas
kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
5) Asas
pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual (het beginsel van de
individuele rechtsbedeling).
Selain
itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, mengingatkan kepada pembentuk undang-undang agar
selalu memperhatikan asas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik dan
asas materi muatan. Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus
dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
1) “asas
kejelasan tujuan” , bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;
2) “asas
kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” , bahwa setiap jenis Peraturan
Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat Pembentuk Peraturan
Perundang-undangan yang berwenang,
Peraturan
Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila
dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang;
3) “asas
kesesuaian antara jenis,hierarki, dan materi muatan” , bahwa dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan harus benarbenar memperhatikan materi muatan yang
tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan;
4) “asas dapat
dilaksanakan”, bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus
memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis;
5) “asas
kedayagunaan dan kehasilgunaan”, bahwa setiap Peraturan perundang-undangan
dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
6) “asas
kejelasan rumusan”, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika,
pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti
sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya;
7) “asas
keterbukaan”, bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai
dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Materi
muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:
1) “asas
pengayoman”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus
berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat;
2) “asas
kemanusiaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus
mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan
martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional;
3) “asas
kebangsaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia;
4) “asas
kekeluargaan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan
harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan
keputusan;
5) “asas
kenusantaraan”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi
muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari
sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
6) “asas
bhinneka tunggal ika”, bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan
harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi
khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara;
7) “asas
keadilan” , bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara;
8) “asas
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” , bahwa setiap Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender,
atau status sosial;
9) “asas
ketertiban dan kepastian hukum”, bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian;
10)
“asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan”, bahwa setiap Materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan
kepentingan bangsa dan negara;
11)
“asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan”, antara lain:
1.
dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas,
asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga
tak bersalah;
2.
dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum
perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad
baik.
Asas-asas tersebut
merupakan dasar berpijak bagi pembentuk peraturan perundang-undangan dan
penentu kebijakan dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Semua asas di
atas, harus terpateri dalam diri penentu kebijakan yang akan membentuk
peraturan perundangundangan yang biasanya diwujudkan dalam bentuk-bentuk
pertanyaan dalam setiap langkah yang ditempuh. Misalnya, apakah pentingnya
membentuk peraturan ini? Tujuannya apa? Apakah bermanfaat bagi kemaslahatan
masyarakat? Tidakkah instrumen lain, selain peraturan, sudah cukup? Dalam
menyusun substansi yang diinginkan oleh penentu kebijakan, pembentuk peraturan
perundang-undangan harus selalu bertanya, apakah rumusan tersebut sudah jelas
dan tidak menimbulkan penafsiran?
Di luar asas-asas di
atas, dalam ilmu hukum atau ilmu perundangundangan, diakui adanya beberapa
teori atau asas-asas yang selalu mengikuti dan mengawali pembentukan peraturan
perundang-undangan dan secara umum teori dan asas-asas terserbut dijadikan
acuan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan.
Dalam membentuk peraturan
perundang-undangan, ada beberapa teori yang perlu dipahami oleh perancang yakni
teori jenjang norma. Hans Nawiasky, salah satu murid Hans
Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori jenjang norma dalam
kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky dalam bukunya “Allgemeine
Rechtslehre” mengemukakan bahwa sesuai dengan teori Hans Kelsen,
suatu norma hukum negara selalu berlapis-lapis dan berjenjang yakni norma yang
di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi dan
begitu seterusnya sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma
dasar. Dari teori tersebut, Hans Nawiasky menambahkan bahwa
selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang, norma hukum juga
berkelompok-kelompok. Nawiasky mengelompokkan menjadi 4
kelompok besar yakni :
1) Staatsfundamentalnorm (norma
fundamental negara);
2) Staatsgrundgezets (aturan
dasar negara);
3) Formell
Gezetz (undang-undang formal);
4) Verordnung
dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).
Kelompok norma di atas
hampir selalu ada dalam tata susunan norma hukum di setiap negara, walaupun
istilahnya dan jumlah norma yang berbeda dalam setiap kelompoknya.
Di Indonesia, norma
fundamental negara adalah Pancasila dan norma ini harus dijadikan bintang
pemandu bagi perancang dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Penempatan
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea
keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar
filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan
tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Sumber tulisan:
1.
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu
Perundang-undangan:Dasar-dasar dan Pembentukannya
2.
Laporan Kompendium Bidang Hukum
Perundang-Undangan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Badan Pembinaan
Hukum Nasional, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, 2008.
3.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.